Ketidaklogisan Cerita dalam Novel Catatan Harian Sang Pembunuh
Dua hari yang lalu, di grup WhatsApp Komunitas Baca iPusnas,
seseorang menawarkan buku terjemahan dari penulis Korea berjudul Catatan
Harian Sang Pembunuh yang bisa dipinjam di iPusnas.
Entah kenapa aku merasa tertarik untuk membaca novel
tersebut. Aku langsung chat orang yang bersangkutan –maaf tidak tahu
namanya– dan buku bersampul merah itu berhasil aku pinjam. Kebetulan jumlah
halamannya tidak banyak. Hanya 160
halaman dan bisa aku selesaikan dalam dua hari saja.
Sebelum membahas
seputar topik yang sesuai dengan judul. Alangkah lebih baiknya kalau kamu juga
tahu seperti apa gambaran cerita novel tersebut.
Sinopsis
Catatan Harian Sang Pembunuh ditulis oleh Kim Young-Ha pada tahun 2013. Novel ini diterjemahkan oleh Lingliana dan terbit dalam versi bahasa Indonesia pada tahun 2020 oleh Gramedia Pustaka Utama.
Novel ini tergolong buku yang “antre” di iPusnas. Aku beruntung karena bisa meminjamnya tanpa proses mengantre hehe. Selain itu, novel ini juga mendapatkan banyak ulasan dari pembaca. Pendapatnya beragam, ada yang suka, biasa saja, bingung, bahkan tidak suka. Yah, namaya juga karya sastra bisa multitafsir.
Seperti judulnya,
Catatan Harian Sang Pembunuh memiliki gaya penulisan sebagaimana buku diary
atau catatan harian. Karena bentuknya demikian, maka tak jarang kita menemukan
bagian tulisan yang cenderung “random” dan hanya terdiri dari hitungan
baris saja. Bukankah kita juga seperti itu dalam menulis buku diary?
Cerita dalam
novel ini berisi seputar catatan harian yang ditulis oleh seorang pelaku
pembunuhan berantai yang beraksi sejak usia 16 hingga 45 tahun. Setelah itu,
ia berhenti membunuh sampai usianya menginjak 70 tahun.
Pada masa tuanya,
ia divonis menderita Alzheimer, sebuah penyakit yang menyerang ingatan manusia.
Pak tua itu akan mudah lupa pada ingatan yang terbaru, sehingga ia membutuhkan
bantuan alat perekam dan catatan untuk mencatat setiap aktivitas yang dilakukan.
Kondisi alzheimer inilah yang membuat cerita ini semakin
menarik karena menyulitkan gerak-gerik tokoh utama dan polisi ketika melakukan
penyelidikan.
Masalah Psikologis Tokoh Utama
Tokoh utama dari novel Catatan Harian Sang Pembunuh
bernama Kim Byeong-su, sebut saja Kim, yang dalam novel ini berperan sebagai
tokoh aku. Orang pertama yang ia bunuh adalah ayahnya sendiri dengan dibantu
oleh adik dan ibunya ketika sedang tidur.
Kim membekap si
bapak dengan menggunakan bantal, sementara ibu dan adiknya memegangi tubuh dan
tangannya. Udara yang terhambat oleh bantal membuat si ayah tidak bisa bernafas
dan dengan segera menghembuskan nafas terakhir.
Tidak ada yang curiga
atas perginya kepala keluarga itu yang bisa dibilang mendadak. Bukankah bukan
hal yang asing seseorang meninggal dalam posisi tidur?
Apa alasan Kim
memutuskan membunuh ayahnya? Itu karena Kim merasa tidak tahan melihat ibunya
menjadi pelampiasan kemarahan sang ayah dan sering mendapatkan perlakuan kasar
darinya.
Sebagai anak
laki-laki, Kim “dilindungi” oleh budaya yang menganggap anak laki-laki memiliki
keistimewaan, sehingga tidak boleh mendapatkan kekerasan.
Kondisi itulah
yang mempengaruhi kondisi psikologis Kim. Ia tumbuh menjadi orang yang tidak
memiliki perasaan. Maybe lebih tepat disebut sebagai psikopat? Ia
melakukan pembunuhan pada orang yang bahkan tidak ia kenal dengan cara yang
keji, memutilasi kemudian menguburnya di hutan bambu. Jumlah korbannya mencapai
puluhan. Semuanya tidak ada yang ketahuan polisi.
Kim juga aktif
mengikuti kelas puisi. Puisi yang ditulisnya mengangkat tema yang berbeda
dengan rekan-rekannya, yakni tentang darah dan mayat. Karya sastra yang
digemari Kim pun tidak jauh-jauh dari tema tersebut.
Ketidaklogisan
Isi Cerita
Meskipun aku
menggolongkan Catatan Harian Sang Pembunuh sebagai novel yang bagus
karena memiliki kelebihan cara penceritaan yang berbeda, namun aku menangkap
ada bagian-bagian yang kurang logis.
Pertama, diakhir
cerita disebutkan bahwa Eun hee bukanlah anak angkat Kim. Akan tetapi, ia adalah petugas sosial yang
mengurusi para penderita alzheimer. Kok bisa gitu? Padahal dialog dan
interaksi yang dibangun antara Kim dan Eun hee di pertengahan cerita layaknya seorang
anak dan ayah.
Meskipun ada “pembelaan”
terhadap kenyataan ini dengan menyebutkan bahwa anak dari orang tua yang
dibunuh Kim memiliki nama yang sama (Eun hee) dan telah dibunuh juga oleh Kim. Tetap
saja, ini tidak masuk akal menurutku.
Kedua, Park
Ju-tae yang digambarkan di tengah cerita sebagai kekasih Eun hee dan dicurigai
oleh Kim sebagai pelaku pembunuhan berantai masa kini, pada akhir cerita Park ternyata
adalah kadet yang sedang berupaya menyelidiki Kim. Menurutku, ini malah
menimbulkan kejanggalan dalam keberlangsungan cerita novel. Pokoknya jadi
janggal saja gitu. Kurang logis.
Maybe kondisi psikologis Kim yang “tidak normal”
bisa membenarkan jalan cerita yang seperti ini. Bisa saja kan Kim berhalusinasi
atau menulis sesuatu yang tidak benar di buku diary-nya. Begitulah. Namanya
juga life. Kenapa aku harus memusingkannya? Sekian!
***
"Penyair itu
seperti pembunuh ahli, yang menangkap bahasa dan membantainya" (hlm 6).
"Rasa malu adalah perasaan yang dirasakan tentang diri sendiri. Rasa bersalah adalah perasaan yang berhubungan dengan orang lain. Ada orang-orang yang merasa bersalah, tapi tidak merasa malu" (hlm 112).
