Cari Blog Ini

Cerita dari Kaum Novel

 

Kaum Novel - Kulik Sastra
Sumber: Pexels.com

Kalau ditanya apa karya sastra terfavorit? Jawabanku adalah NOVEL. Novel menimbulkan kesan tersendiri saat selesai dibaca, apalagi kalau isi ceritanya mengangkat isu yang jarang dibicarakan atau sensitif.

Kesukaanku pada novel mulai tumbuh saat SMA. Aku membaca banyak novel waktu itu, terutama novel yang bertema islami. Bahkan, aku berani bilang kalau hidupku berubah karena terpengaruh dari cerita yang ada di dalamnya.

Meskipun begitu, hubunganku dengannya pernah berjalan tidak begitu mulus. Aku pernah menjauhi karya sastra yang biasanya berhalaman tebal itu gara-gara termakan ucapan orang yang mengaku dirinya sebagai motivator. Menurutnya, membaca novel itu tidak realistis dan hanya membuang-buang waktu.

Hubungan yang tidak begitu harmonis itu berjalan selama beberapa waktu. Tepatnya setelah lulus SMA. Syukurlah, aku masuk kuliah di jurusan sastra, yang artinya aku harus bisa bersahabat lagi dengan novel dan tumbuhlah kecintaanku padanya hingga saat ini.

Beragam genre novel sudah aku baca. Asalnya dari berbagai negara dan terjemahan dari banyak bahasa. Di antara mereka menimbulkan kesan yang sangat mendalam. Bahkan, isi ceritanya masih aku ingat sampai sekarang.

Itulah kenapa aku dengan percaya diri menahbiskan diri sebagai orang yang menggilai novel. Pecinta novel. Dan, memasukkan diri sebagai anggota dari Kaum Novel, julukan yang aku temui dari sebuah buku kumpulan esai yang baru selesai aku baca kemarin.

Tentang Kaun Novel

Kulik Sastra - Kaum Novel
Tangkapan layar iPusnas

Beberapa hari yang lalu, takdir menemukanku dengan buku kumpulan esai yang berjudul Kaum Novel: Ketabahan dan Derita karya dua penulis, yakni Widyanuari Eko Putra dan Setyaningsih. Di iPusnas.

Menurutku, sampul bukunya kurang menarik, tetapi judulnya berhasil membuatku penasaran setengah mati. Aku pun rela ikut antre demi bisa melahapnya.

Perlu dua hari untuk bisa meminjam. Dan, membutuhkan tiga hari untuk membacanya. Buku setebal 164 halaman tersebut tidak memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.

Kumpulan esai ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berjudul Ketabahan, berisi esai-esai yang ditulis oleh Widyanuari Eko Putra, terdiri atas 15 esai.

Bagian kedua diberi nama Derita. Berisi 14 esai yang ditulis oleh Setyaningsih. Keduanya berhasil menghadirkan esai yang enak dibaca dan menggambarkan kedalaman penguasaan mereka terhadap novel yang telah dilahap beserta historis-historisnya. Sungguh, gambaran nyata dari sosok pecinta novel.

Ini membuatku terinspirasi untuk belajar agar bisa melakukan hal serupa. Supaya menjadi anggota Kaum Novel yang “sesungguhnya”. Oh, dalam arti lain menjadi kritikus sastra.

Pengantar untuk Menjelajahi Novel

Terkadang seseorang merasa bingung mau baca novel apa. Di sini ungkapan “baca novel hanya buang-buang waktu” bisa berlaku kalau yang dibaca adalah novel yang isinya kurang memuaskan, tidak sesuai ekspektasi.

Di situlah pentingnya peran seorang penulis esai atau resensi novel. Komentar mereka bisa dijadikan sebagai rujukan seseorang memutuskan untuk membaca atau meninggalkan begitu saja sebuah novel tanpa perlu melihat sampulnya.

Inilah yang menjadi keunggulan dari buku kumpulan esai ini. Terhitung lebih dari 10 judul novel yang menjadi wishlist-ku setelah membacanya.

Komentar yang komprehensif berhasil membuatku penasaran pada novel yang menjadi bahan pembicaraan mereka. Ada pula novel yang lebih baik tidak aku baca setelah kedua penulis tersebut memberikan pandangannya. 

Satu Novel dalam Dua Pandangan

Isi novel yang lengkap dengan banyak tokoh dan alur cerita yang kompleks membuatnya bisa dilihat atau ditafsir dengan beragam sudut pandang.

Kalau kamu dari jurusan sastra pasti tidak asing lagi dengan novel yang dapat dikaji menggunakan beberapa pendekatan sekaligus.

Menariknya, ada satu novel di dalam buku ini yang dikomentari oleh Eko dan Setyaningsih. Tentunya, dengan point of view yang berbeda.

Novel tersebut berjudul Wesel Pos yang terbit pada tahun 2018 dan ditulis oleh pengarang kelahiran Jakarta bernama Ratih Kumala. Apakah kamu pernah membaca novel ini? Bagaimana tanggapanmu?


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url