Menulis Kritik Sastra dengan Rasa bersama Ayu Utami
![]() |
| (Instagram/@perpusjkt) |
Malam itu aku sedang
membuka Instagram. Ketika sedang scroll down, aku menjumpai
postingan yang begitu membuatku bersemangat. Perpustakaan Jakarta akan
mengadakan acara Lokakarya Menulis Kreatif Kritik Sastra bersama Ayu Utami. Yeay!
Tanpa berpikir panjang, aku langsung mendaftarkan diri. Aku punya
dua alasan penting. Pertama, aku pengagum berat Ayu Utami. Terhitung lebih dari
lima bukunya sudah kubaca. Kedua, aku sangat ingin bisa menulis kritik sastra. Walaupun
sudah pernah mendapatkan matkul ini, tapi aku masih merasa kurang puas dengan
pengetahuan yang aku dapatkan. Perpaduan yang sangat pas bukan?
Ups, aku punya satu alasan lagi kenapa aku enggak
boleh melewatkan lokakarya ini.
***
Kembalinya aku ke
Jakarta sangat dinantikan beberapa orang. Mereka menanyakan kapan aku akan
balik lagi ke Jakarta setelah hampir dua bulan berada di kampung halaman. Salah
satu dari mereka adalah Hima, bestie-ku dari Tegal.
Begitu tahu aku
sudah ada di Jakarta lagi, Hima langsung menanyaiku kapan kami bisa bertemu. Sebenarnya
aku punya hutang jalan-jalan bareng Hima sejak masih freelance di YOT,
tapi belum pernah terlaksana.
Tak mau menunda
lagi, aku mengajak Hima buat ikutan juga acara workshop ini di
Perpustakaan Jakarta. Ia pun dengan senang hati untuk ikut acaranya dan bertemu
denganku. So, bertemu dengan Hima menjadi alasan ketigaku.
***
Hari itu tiba. Setelah
melewati drama dalam menempuh perjalanan, akhirnya aku bisa ketemu Hima di
Perpustakaan Jakarta. Aku datang sedikit terlambat. Tak mau menunggu lebih lama
lagi, kami langsung ke Lt. 4 HB. Jassin, tempat dilangsungkannya acara. Syukurlah,
workshop-nya belum dimulai.
Dan…. aku tidak
menyangka bisa bertemu Ayu Utami secara langsung. Di usianya yang sudah
menginjak 55 tahun, ia masih terlihat cantik, energik, dan nyentrik. Tepat
pukul 13.20 WIB acara dimulai. Aku sudah menyiapkan buku catatan untuk menulis
poin-poin penting terkait penulisan kritik sastra. Apa saja yang aku dapatkan?
Kenapa Menulis Kritik Sastra Penting?

(Lokakarya Kritik Sastra bersama Ayu Utami)
Ayu Utami membuka
kelasnya dengan mengajukan pertanyaan tersebut. Beberapa peserta antusias
menjawabnya.
“Untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra.”
“Untuk mengetahui suatu karya sastra tergolong karya yang
baik atau buruk.”
“Untuk mengangkat nama penulis yang karyanya bagus.”
Tiga respon di atas cukup mewakili jawaban peserta yang mengikuti
lokakarya ini dan tidak ada yang salah dengan jawaban di atas.
Sebelum menjawab pertanyaan kenapa, alangkah lebih
baiknya kita tahu dulu jawaban dari pertanyaan apa, lebih lengkapnya apa
itu kritik sastra?
Kritik sastra, singkatnya, adalah penilaian atas karya
sastra. Lalu, kenapa karya
sastra harus dinilai?
Secara ringkas, Ayu
Utami menjawab karena kita percaya sastra berharga. Misalnya,
untuk penjurian hadiah sastra, untuk meyakinkan orang bahwa sebuah karya sastra
perlu dibaca, untuk mempertanggungjawabkan selera kita atas suatu karya sastra,
untuk memberi tafsir pemahaman atas karya sastra, ….
Di mana Karya Sastra Terbit?
Kritik sastra
bisa diterbitkan melalui banyak media, seperti jurnal, majalah, ulasan buku
(Amazon, Goodreads, dll), blog pribadi, buku, skripsi, tesis, dan lain-lain. Selain
itu, biasanya juri dalam penyelenggaraan hadiah sastra menulis kritik sastra
sebagai bentuk pertanggungjawaban atas karya sastra yang dinilainya.
Apa Bentuk Kritik Sastra?
Kritik sastra bisa
ditulis dalam berbagai bentuk, mulai dari esai panjang, makalah, esai pendek,
surat, bahkan pleidoi/nota pembelaan (upaya terakhir yang dilakukan terdakwa
atau pembela terdakwa dalam mempertahankan hak-hak hukum yang dimilikinya,
sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan dalam sebuah perkara pidana [sumber: simpus.mkri.id]).
Ayu Utami
memberikan contoh pleidoi berbentuk kritik sastra yang diajukan oleh HB. Jassin
sewaktu menjadi terdakwa dalam kasus cerpen Langit Makin Mendung karya
Kipanjikusmin. Sebagai redaktur, Jassin tidak mau mengungkapkan identitas asli
Kipanjikusmin yang karyanya menimbulkan polemik karena dianggap menistakan
agama. Oleh karena itu, Jassin dijadikan terdakwa.
Kritik Sastra Milik Paus Sastra Indonesia
![]() |
| (Ayu Utami saat membacakan Surat Kepada Asrul Sani dan Siti Nuraini) |
Untuk memudahkan pemahaman mengenai kritik sastra, Ayu Utami
menampilkan dan membacakan contoh kritik sastra yang ditulis oleh paus sastra Indonesia,
yakni HB Jassin. Sebelum itu, Ayu Utami sempat menjelaskan profil singat
mengenai pria yang bernama lengkap Hans Bague Jassin itu.
Kritik sastra yang ditulis Jassin berbentuk surat pribadi
kepada Asrul Sani yang kemudian dipublikasikan di sebuah majalah. Surat yang ditulis pada 27 Desember 1952
itu berjudul Kepada Asrul Sani dan Siti Nuraini. Surat itu dikirim
ketika Asrul Sani berada di Belanda.
Pembahasan surat
tersebut cukup luas. Beberapa poin yang kuingat adalah kegelisahan Jassin
mengenai kondisi sastra Indonesia pada waktu itu. Selain itu, berisi juga kritik
Jassin terhadap beberapa sastrawan yang serba tidak memuaskan selama 10 tahun terakhir.
Ia merasa bertanggung jawab karena sepanjang waktu itu Jassin terlibat menjadi
redaktur yang menyeleksi karya-karya mereka.
Pembahasan surat
Jassin juga melebar hingga ke permasalahan filsafat eksistensialisme yang
dibawakan oleh Camus dan Sartre. Begitulah. Isinya panjang x lebar. Akan tetapi, ini bukan tentang
rumus luas persegi panjang.
Masih ada lagi
poin yang belum dibahas di sini. Akan dilanjutkan pada artikel selanjutnya biar
tidak menjadi luas persegi panjang sungguhan. Tulisan yang disajikan di atas
bisa dibilang sebagai pengantar singkat untuk memahami kritik sastra. Untuk hal
teknis tentang cara menulis kritik sastra akan dijelaskan pada artikel
berikutnya. Stay tuned, ya!

