Mitos Matematika dan Realitas Pendidikan di Indonesia dalam Novel Guru Aini
Pada akhir April 2024 lalu, aku menamatkan novel Guru Aini karya Andrea Hirata yang terbit pada tahun 2020 dan merupakan prekuel dari novel Orang-Orang Biasa. Novel ini menjadikan matematika dan pendidikan di Indonesia dengan segala permasalahannya sebagai tema utama.
Sinopsis
Novel ini diawali dengan cerita tentang kegemaran Desi Istiqomah terhadap pelajaran matematika. Bisa dibilang Desi, sapaan akrabnya, adalah bintang matematika di kelasnya. Bahkan, saat lulus SMA, ia berhasil mendapatkan nilai matematika yang sempurna.
Dengan keahliannya tersebut, terbuka peluang bagi Desi untuk berkuliah di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran, sebagaimana harapan kedua orang tuanya. Namun, Desi memiliki pilihannya sendiri. Ia bercita-cita mengabdikan hidupnya untuk matematika dengan menjadi guru mata pelajaran tersebut. Ia memiliki misi memberantas kebodohan para siswa dalam pelajaran matematika yang selama ini dianggap sebagai pelajaran paling sulit.
Setelah menamatkan pendidikan D3 guru matematika dengan predikat lulusan terbaik, Desi mendapatkan tugas mengajar di SMA Ketumbi yang terletak di sebuah wilayah terpencil di Provinsi Sumatera.
Desi sempat merasa gagal karena sebagian besar murid di sekolah menengah tersebut anti dan takut pada pelajaran matematika. Namun, ia tetap berpegang teguh pada cita-citanya, yakni menemukan bintang matematika yang akan dididiknya secara khusus. Apakah Guru Desi berhasil?
Mitos Matematika Sulit
Adalah Aini salah satu murid di SMA Ketumbi yang bermusuhan dengan matematika sejak duduk di bangku SD. Baginya, matematika adalah lawan yang tak terkalahkan. Sekeras apa pun berusaha, ia tetap merasa kesulitan memahami pelajaran berhitung tersebut. Oleh karena itu, ia selalu menyerah ketika berhadapan dengan pelajaran ini, begitu pula dengan guru yang mengajarinya. Aini pun masuk ke dalam jajaran murid dengan nilai matematika terendah di kelasnya.
Namun, kondisi ayahnya yang sakit parah mengubah tekadnya untuk bisa menaklukkan matematika. Sebab, Aini memiliki cita-cita menjadi dokter agar bisa mengobati ayahnya. Kenyataan hidup sebagai orang miskin menyadarkan Aini bahwa akses terhadap fasilitas kesehatan sangat sulit dijangkau oleh keluarganya, sehingga tidak mampu mengobati ayahnya.
Aini sadar bahwa jika ingin menjadi dokter, ia harus menguasai pelajaran matematika. Itulah mengapa tekadnya sekuat baja untuk pindah ke kelas Bu Desi, guru matematika paling jenius di SMA Ketumbi. Matematika memang tidak mudah ditaklukkan Aini, bahkan setelah ia meminta Bu Guru untuk secara khusus mengajarinya di sore hari.
Sempat ingin menyerah mengajari Aini, Bu Desi akhirnya menyadari pola belajar seperti apa yang seharusnya diterapkan kepada muridnya itu. Sejak saat itu, Aini mengalami kemajuan pesat dalam memahami matematika hingga bisa menjadi ahli dalam mata pelajaran tersebut.
Menurutku, ada dua hal penting yang bisa kita pelajari terkait pembelajaran matematika di Indonesia melalui novel ini. Pertama, matematika masih dianggap sebagai pelajaran yang hanya berisi rumus semata, padahal sesungguhnya lebih dari itu. Bahkan, kita bisa menemukan makna hidup jika bisa menggali matematika lebih dalam. Sebagaimana Aini yang menemukan nilai-nilai filosofis dari matematika setelah melakukan banyak percakapan dengan Bu Desi dan membaca referensi buku-buku matematika yang lebih luas.
Kedua, sebagaimana keterampilan lainnya, matematika bisa dipelajari bahkan ditaklukkan asal memiliki tekad yang kuat dan semangat belajar yang tinggi. Jika kita mengubah perspektif mempelajari matematika sebagai tantangan atau puzzle, kita akan terlatih untuk berpikir kritis, logis, konsisten, dan kreatif. Dan, yang paling penting, matematika telah berhasil mengubah Aini menjadi orang yang pantang menyerah dan memiliki daya juang yang tinggi.
Orang Miskin Dilarang Kuliah
Akhir-akhir ini, pemberitaan di Indonesia diramaikan dengan naiknya UKT di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN). Tidak tanggung-tanggung, kenaikannya ada yang mencapai 500% (Tempo). Bahkan, salah satu pejabat di Kemendikbud berseloroh bahwa kuliah adalah kebutuhan tersier (Kompas).
Kenyataan ini membuat tidak sedikit mahasiswa baru yang berasal dari keluarga kurang mampu memilih mengundurkan diri. Biaya pendidikan tinggi yang mahal masih menjadi musuh utama bagi masyarakat kurang mampu, padahal menempuh pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa orang miskin (memang) dilarang kuliah.
Kejadian itu juga dialami Aini. Sekuat tenaga ia mencurahkan pikirannya untuk mengikuti tes masuk Fakultas Kedokteran hingga dinyatakan lolos. Namun, tekadnya mulai pupus saat mendapatkan kenyataan pahit bahwa untuk menjadi dokter tidak hanya perlu memiliki keahlian dalam pelajaran matematika, tetapi juga membutuhkan biaya yang besar. Pada akhirnya, Aini memutuskan untuk mengundurkan diri dan melanjutkan hidup dengan bekerja di warung sambil berharap upahnya akan cukup untuk berkuliah di Fakultas Kedokteran.
Guru Aini menjadi salah satu bacaan terbaikku pada tahun ini. Andrea Hirata lagi-lagi berhasil menggambarkan ironi pendidikan di Indonesia, terutama betapa susahnya masyarakat kalangan bawah bisa menjangkaunya, meskipun dari segi kualitas bisa bersaing. Selain itu, novel ini menampilkan ciri khas Andrea yang lain, yakni menyelipkan komedi dan alur tak terduga.
Referensi:
